Jakarta Badan Koordinasi Nasional Lembaga Kesehatan Mahasiswa
Islam Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (Bakornas LKMI PB HMI)
menuntut pasangan calon presiden dan wakil presiden untuk memiliki visi
pembangunan kesehatan. Visi pembangunan kesehatan ini tentunya harus
sesuai dengan cita-cita bangsa dalam menjamin kesehatan rakyatnya.
"Kesehatan mesti menjadi prioritas dalam pembangunan nasional,
mengingat pengaruhnya yang besar pada kualitas sumber daya manusia
bangsa ini. Calon presiden yang tidak memiliki komitmen besar pada
pembangunan kesehatan bangsa, tentu tidak memiliki visi kebangsaan yang
memadai sebagai seorang pemimpin negara. Seyogyanya kita menaruh harapan
besar bahwa yang akan menjadi presiden RI nanti adalah dia yang
memiliki visi terhadap pembangunan kesehatan bangsa," ujar Direktur
Bakornas LKMI PB HMI, Dr. Ardiansyah Bahar, di Sekretariat PB HMI,
Jakarta, Sabtu (25/5/2014).
Ardiansyah mengatakan, LKMI HMI akan terus menuntut pasangan
Capres-Cawapres untuk memiliki komitmen pada pembangunan kesehatan
bangsa ini. Tidak hanya pada saat pencalonan saja, namun saat terpilih
dan menjalankan tugasnya sebagai pemimpin negara nanti. "Diharapkan
presiden dan wakilnya bisa terus memprioritaskan agenda pembangunan
kesehatan bangsa Indonesia."
Ardiansyah menyampaikan, berbagai permasalahan kesehatan bangsa ini
sesuai hasil Riskesdas (Riset kesehatan Dasar) tahun 2013 yang dilakukan
oleh Kementerian Kesehatan RI.
"Prevalensi gizi kurang pada balita di tahun 2013 meningkat menjadi
19,6 persen dibandingkan pada 2010 yaitu 17,9 persen. Masalah stunting
atau pendek pada balita juga masih sangat serius, dimana angka
nasionalnya sebesar 37,2 persen. Pemerintah semestinya menjadikan
perbaikan status gizi menjadi fokus utama pembangunan kesehatan karena
hal ini terkait dengan masa depan bangsa. Bagaimana mungkin bangsa
Indonesia bisa bersaing dengan bangsa lain jika anak-anak Indonesia
tidak dapat memaksimalkan potensinya karena kurang gizi.” katanya.
Belum lagi, lanjut Ardiansyah, terkait penyakit menular, Ardiansyah
menjelaskan bahwa prevalensi Tuberkulosis (TB) Paru masih sama antara
tahun 2007 dan 2013, yaitu sekitar 0,4 persen.
“Penyakit TB ini
tidak boleh dipandang remeh, mengingat mekanisme penularannya begitu
mudah. Apalagi di Indonesia telah terjadi ancaman Tuberkulosis Kebal
Obat yang kita kenal dengan istilah Multidrug Resistent atau
MDR, dimana penanganannya akan lebih sulit dibandingkan TB biasa.
Pemerintah harus memaksimalkan potensi dan peran serta semua pihak
terkait dalam program pengendalian penyakit ini,” ungkapnya.
Selain
itu, perilaku merokok penduduk 15 tahun ke atas masih belum terjadi
penurunan dari tahun 2007 hingga 2013, bahkan semakin meningkat dari
34,2 persen menjadi 36,3 persen.
“Pemerintah masih setengah hati
dalam melakukan program pengendalian dampak rokok. Negara-negara lain
telah meratifikasi dan menandatangani Konvensi Kerangka Kerja
Pengendalian Tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control
(FCTC). Indonesia sebagai negara dengan epidemic konsumsi rokok yang
tinggi malah tidak ikut serta. Indonesia menjadi satu-satunya negara di
Asia yang belum meratifikasi dan menandatangani FCTC. Pemerintah dalam
hal ini Presiden harus berani untuk mempercepat aksesi dari FCTC ini”,
ujar Ardiansyah.
Ardiansyah juga menyayangkan tidak meratanya
pembangunan kesehatan di negara ini. Daerah-daerah terpencil, kepulauan,
dan perbatasan masih menjadi anak tiri dalam proses pembangunan.
Akhirnya, berbagai masalah kesehatan menjadi lebih runcing di
daerah-daerah tersebut. Masalah disparitas ini, hanya bisa diselesaikan
oleh pemerintah karena ketidakmampuan masyarakat setempat menyediakan
segala sumber daya yang menyokong pembangunan kesehatan di daerahnya.
"Perlu
dukungan politis dalam penyelesaiannya, bukannya malah menjadikan
kesehatan sebagai jualan politik untuk menaikkan citra dan mendapatkan
simpati masyarakat. Kesehatan harus menjadi isu sentral dalam
pembangunan nasional. Kesadaran bahwa kesehatan sebagai faktor penting
peningkatan kualitas SDM masyarakat Indonesia harus dimiliki oleh setiap
pengambil kebijakan, utamanya presiden sebagai pemimpin tertinggi
negara," tegasnya.
Hingga jadwal pendaftaran Capres-Cawapres
ditutup, terdapat dua pasangan yang akan bertarung di pilpres nanti.
Sangat perlu untuk melakukan penilaian pada para calon presiden terkait
visi mereka terhadap pembangunan kesehatan bangsa ini. Tapi terlihat
bahwa kedua calon memang sedikit menyinggung mengenai kesehatan di visi
misinya.
"Paradigma yang digunakan masih sangat fokus pada pelayanan kesehatan
terkait upaya pengobatan, bukan pada upaya preventif atau pencegahan.
Perbaikan pelayanan kesehatan memang sangat penting, namun faktor lain
seperti lingkungan, perilaku masyarakat, dan aspek lainnya tetap mesti
diperhatikan. Pembangunan di berbagai sektor harus terintegrasi pada
upaya peningkatan status kesehatan masyarakat karena pendekatan yang
dilakukan harus selalu bersifat multidisiplin dan lintas sektor,"
katanya.
LKMI HMI berharap bahwa Presiden terpilih nanti mampu
memperjuangkan kesehatan rakyat Indonesia dalam rangka peningkatan
kesejahteraan menuju masyarakat adil makmur. Untuk itu masyarakat harus
cerdas menilai calon presiden berdasarkan visi misi dan strategi
pembangunannya ke depan, tidak hanya berdasarkan rasa suka atau tidaknya
pada calon yang ada.
0 komentar:
Posting Komentar